Academia.eduAcademia.edu
Hubungan antara School Engagement, Academic Self-Efficacy dan Academic Burnout pada Mahasiswa Fitri Arlinkasari dan Sari Zakiah Akmal Fakultas Psikologi, Universitas YARSI, Jakarta Abstract Inability to deal efficiently with lectures leads students vulnerable to academic burnout. Burnout contributes to the high dropout rate among students, and this phenomenon has occurred on several universities in Indonesia. To overcome these problems, students should generate the feelings, attitudes and positive attitude towards the academic demands, or known as school engagement. School engagement is a predictor of students’ dropout rate. This study aims to analyze the dropout problem in many private universities in Jakarta by examining the psychological variables: school engagement, academic self-efficacy, and academic burnout. Two hundred and eight students from several private universities in Jakarta participated and fulfilled three questionnaires: school engagement, academic selfefficacy, and academic burnout that have been modified to suit the college setting. The results of this study indicate that the three variables are significantly correlated. Academic burnout is negatively correlated with academic self-efficacy and school engagement. Thus, increased academic self-efficacy and school engagement play a role in reducing student academic burnout. Furthermore, academic self-efficacy and school engagement show a positive correlation, which means, the increase of school-engagement on students can predict an increase in their academic self-efficacy. The findings in this study can be used as a reference in student academic counseling to reduce the dropout rate of students. Keywords: school engagement, academic self-efficacy, academic burnout, students. I. Pendahuluan Mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan di perguruan tinggi dihadapkan pada berbagai tuntutan yang nantinya akan membantu mereka untuk beradaptasi dengan lingkungan kerja yang sesungguhnya. Dalam menjalankan studinya, mahasiswa harus beradaptasi dengan sistem pendidikan, metode belajar, dan keterampilan sosial yang sangat berbeda dengan tingkat pendidikan sebelumnya (Khoo, Abu-rasain, & Hornby dalam Chai, 2012). Mereka juga diharapkan mampu memenuhi berbagai tuntutan seperti pemenuhan tugas-tugas perkuliahan, menghadapi kompleksitas materi perkuliahan yang semakin sulit dari tahun ke tahun, melakukan penyesuaian sosial di lingkungan kampusnya, dan 81 Humanitas Volume 1 Nomor 2 Agustus 2017 pemenuhan harapan untuk meraih pencapaian akademik (Heiman & Kariv dalam Alfian, 2014). Mahasiswa yang tidak mampu menangani masalah perkuliahan secara efisien akan membuat mereka rentan terhadap burnout. Burnout dalam bidang akademik atau academic burnout didefinisikan sebagai perasaan lelah karena tuntutan studi, memiliki sikap sinis terhadap tugas-tugas perkuliahan, dan perasaan tidak kompeten sebagai mahasiswa (Schaufeli, dkk., 2002). Cordes (dalam Law, 2007) menyatakan bahwa burnout pada individu berhubungan dengan kemunduran hubungan interpersonal, dan pengembangan perilaku negatif yang dapat merusak individu yang bersangkutan. Mahasiswa yang mengalami burnout akan melewatkan kelas (ketidakhadiran), tidak mengerjakan tugas dengan baik, dan mendapat hasil ujian yang buruk hingga akhirnya berpotensi untuk dikeluarkan dari perguruan tinggi (Law, 2007). Dampak burnout berupa dikeluarkannya mahasiswa dari perguruan tinggi atau yang dikenal dengan istilah drop out telah banyak terjadi di beberapa perguruan tinggi di Indonesia. Ratnaningsih, Asep, dan Hari (2008) menemukan angka drop out dari tahun 2001 hingga 2007 di Universitas Terbuka mencapai 85,08 %, yang mayoritas dipengaruhi oleh daya tahan belajar mahasiswa. Fenomena serupa juga terjadi di Institut Teknologi Bandung (ITB), Wakil Rektor Senior ITB Prof. Adang Surahman (dalam Harjono, 2008) mengatakan bahwa rata-rata sekitar 10 persen mahasiswa di ITB per angkatan atau dua persen per tahunnya mengalami drop out yang kebanyakan disebabkan oleh persoalan akademik. Untuk mengatasi hal tersebut KM-ITB mengadakan bimbingan konseling terhadap mereka yang terancam drop out. Tingginya angka drop out yang rata-rata disebabkan oleh permasalahan akademik membuat beberapa perguruan tinggi di Indonesia membuka layanan konsultasi psikologi bagi mahasiswa. Salah satunya adalah Fakultas Psikologi Universitas YARSI. Fakultas tersebut telah membuka klinik konsultasi psikologi bagi mahasiswa untuk mengkonsultasikan permasalahan akademik maupun pribadi yang mereka alami selama menjalankan studinya. Pada bulan September 2012 hingga mei 2013 tercatat 23 kali konsultasi kemudian pada bulan September 2013 hingga juli 2014 tercatat 37 kali konsultasi oleh mahasiswa. Pada bulan September 2014 hingga Januari 2015 terdapat 42 kali konsultasi mahasiswa. Rata-rata permasalahan yang dikonsultasikan adalah permasalahan akademik. Permasalahan akademik yang tidak segera terselesaikan berpotensi menyebabkan academic burnout pada mahasiswa. Leiter & Maslach (2000) mengatakan bahwa terdapat enam faktor yang berpengaruh dalam muncul tidaknya burnout yaitu workload, control, 82 Hubungan antara School Engagement, Academic Self-Efficacy dan Academic Burnout pada Mahasiswa (Fitri Arlinkasari dan Sari Zakiah Akmal) reward, community, value dan fairness. Dalam konteks perkuliahan workload dapat berupa mengerjakan banyak tugas-tugas perkuliahan seperti menyusun makalah, memahami jurnal, melakukan presentasi, dan mempersiapkan diri untuk ujian dalam waktu yang singkat. Control seperti kesulitan dalam mengambil keputusan terkait tugas-tugas perkuliahannya akibat pengaruh teman yang lebih dominan, dosen, ataupun peraturan-peraturan kampus. Reward misalnya mahasiswa tidak mendapat apresisasi dari dosen, teman seperkuliahan, ataupun orang tua atas pencapaian akademik yang ia dapatkan. Community misalnya mahasiswa tidak memiliki hubungan baik dengan teman-teman sekelas ataupun dosen sehingga mereka merasa kurang nyaman menjalankan perkuliahannya. Value dapat berupa ketidaksesuaian nilai-nilai yang mahasiswa anut dengan tuntutan perkuliahan. Fairness dapat terlihat ketika mahasiswa merasa diperlakukan secara tidak adil oleh pihak-pihak kampus. Banyaknya faktor-faktor yang berpotensi menimbulkan academic burnout pada mahasiswa, dapat menjadi hambatan bagi mahasiswa dalam menjalankan perkuliahannya. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, Ugwo, dkk (2013) menyarankan agar mahasiswa memiliki self efficacy yang memadai untuk melindungi diri dari potensi academic burnout. Self efficacy pada dasarnya bersifat spesifik, dalam penelitian ini self efficacy yang dimaksud adalah academic self efficacy. Zajacoca, dkk (2005) mendefinisikan academic self efficacy sebagai keyakinan mahasiswa terhadap kemampuan mereka dalam melaksanakan tugas – tugas akademik seperti mempersiapkan diri untuk ujian dan menyusun makalah. Shankland, dkk (dalam Rachmah, 2013) menemukan bahwa mahasiswa dengan self efficacy yang tinggi akan mampu mengatasi berbagai tuntutan sebagai mahasiswa di perguruan tinggi. Mereka juga menunjukkan kurangnya kecemasan, rendahnya gejala depresi, kepuasan hidup yang lebih besar, dan prestasi akademik yang lebih baik. Pernyataan senada diungkapkan oleh Chemers, Hu, & Garcia (2001), bahwa mahasiswa dengan selfefficacy yang tinggi memiliki fleksibilitas dalam mencari solusi terkait masalah perkuliahan yang ia hadapi, menetapkan aspirasi yang lebih tinggi pada pencapaian akademiknya, dan memiliki perfoma yang lebih baik dibanding mahasiswa dengan self-efficacy rendah. Penelitian Victoriana (2012) menunjukkan bahwa mahasiswa dengan self efficacy yang tinggi memiliki keyakinan bahwa ia mampu mengendalikan situasi yang menekan sehingga ia dapat mengatasi berbagai kondisi perkuliahan yang stressfull. Self efficacy yang baik juga meningkatkan motivasi mahasiswa untuk menguasai materi perkuliahan. Ketika mahasiswa memiliki self efficacy yang baik maka mereka diharapkan mampu memenuhi beban pelajaran selama perkuliahan dan meningkatkan kemampuannya untuk menguasai materi perkuliahan yang semakin sulit dan kompleks. 83 Humanitas Volume 1 Nomor 2 Agustus 2017 Selain keyakinan akan mahasiswa dalam menampilkan performa akademik yang maksimal, situasi penuh tekanan yang berpotensi menyebabkan academic burnout juga dapat diatasi oleh adanya perasaan, sikap serta perilaku positif terhadap tuntutan akademik (Fredricks, Blumenfeld, & Paris in Bilge, Dost, Cetin, 2014). Ketiga komponen positif tersebut dikenal sebagai school engagement. Ketika seorang mahasiswa menunjukkan keterikatan positif dengan kegiatan akademiknya, ia akan lebih termotivasi dan menampilkan perilaku self-regulated learning yang lebih baik. School engagement merupakan faktor terpenting dalam menentukan kemungkinan seorang siswa mengalami drop-out (Archambault, Janosz, Morizot, & Pagani in Bilge et al, 2014). Bahkan Finn (dalam Bilge et al, 2014) menemukan hubungan yang signifikan antara school engagement dan kesuksesan akademik, dimana semakin tinggi school engagement siswa, mereka akan semakin mampu mengatasi tuntutan dan hambatan dalam studi sehingga mereka menjadi lebih berprestasi. Sejauh ini, penelitian mengenai ketiga variabel di atas: school engagement, academic self-efficacy dan academic burnout lebih banyak dilakukan pada setting sekolah dan Indonesia kajian mengenai ketiga variabel tersebut masih sangat minim dilakukan pada kelompok mahasiswa. Dengan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi academic burnout seperti self-engagement dan academic self-efficacy, peneliti dapat memberikan kontribusi bagi penyelenggara pendidikan tinggi dalam meningkatkan kesejahteraan psikologis mahasiswa, terutama yang berkaitan dengan peningkatan prestasi. Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas maka penulis tertarik untuk melihat hubungan antara school engagement, academic self efficacy dan kecenderungan mengalami academic burnout pada mahasiswa. 1.1 School-Engagement 1.1.1 Definisi School-Engagement Fredricks, Blumenfeld, dan Paris (2004) mendefinisikan School-engagement sebagai berikut: “Engagement is associated with positive academic outcomes, including achievement and persistence in school; and it is higher in classrooms with supportive teachers and peers, challenging and authentic tasks, opportunities for choice, and sufficient structure.” 84 Hubungan antara School Engagement, Academic Self-Efficacy dan Academic Burnout pada Mahasiswa (Fitri Arlinkasari dan Sari Zakiah Akmal) Sebaliknya, perilaku disengagement menunjukkan kecenderungan perilaku pelajar yang bermasalah dalam setting pendidikan dan berpotensi menyebabkan drop-out. Jauh sebelum pendapat yang diutarakan oleh Fredricks et al (2004), Finn & Voelkl (1993) menyatakan bahwa school engagement adalah terpadunya sejumlah komponen psikologis yang bisa diamati dalam bentuk perilaku. Komponen tersebut meliputi komponen perilaku, tingkat kehadiran, keterlibatan emosi dan kecakapan mengidentifikasi emosi. Indikator-indikator yang dapat dijadikan pedoman untuk melihat perilaku school-engagement antara lain: partisipasi di sekolah, prestasi akademik yang tinggi, waktu yang dihabiskan untuk mengerjakan pekerjaan rumah (PR), dan tingkat terselesaikannya pekerjaan rumah (Jimerson, Campos, dan Greif, 2003). Sementara itu, sejumlah peneliti dalam topic school-engagement juga menemukan adanya beberapa perilaku yang berkaitan dengan school-engagement, seperti kenakalan remaja, ketidakhadiran di sekolah (bolos), dan perilaku menyimpang. Perilaku-perilaku tersebut turut diukur untuk turut melihat kemungkinan munculnya school-disengagement pada subjek penelitian. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa school-engagement merupakan kecenderungan perilaku positif pelajar dalam setting sekolah dan dapat diukur dengan tiga dimensi : behavioral, afektif, dan kognitif. 1.1.2 Dimensi School-Engagement School engagement melibatkan tiga dimensi yang meliputi dimensi afektif, kognitf dan perilaku. Dimensi afektif meliputi perasaan siswa/mahasiswa tentang sekolah, pengajar, dan teman (termasuk perasaan positif terhadap interaksi guru dengan siswa lain). Dimensi perilaku/behavioral meliputi perilaku mahasiswa yang dapat diamati seperti tingkat kehadiran di kelas, tingkat kehadiran di kegiatan ekstrakurikuler, penyelesaian tugas, nilai akademik, dan indeks prestasi. Dimensi kognitif meliputi persepsi dan keyakinan siswa terhadap diri mereka sendiri, sekolah, guru dan siswa lain (contoh: self efficacy, motivasi, harapan, dsb). Ketiga dimensi yang terkandung dalam school-engagement, akan digunakan oleh peneliti dalam pembuatan alat ukur. Ketiga dimensi tersebut nantinya akan diperlakukan secara multidimensional. 85 Humanitas Volume 1 Nomor 2 Agustus 2017 1.2 Academic Self Efficacy 1.2.1 Definisi Academic Self Efficacy Zajacova, dkk (2005) mendefinisikan academic self efficacy sebagai: “Academic self efficacy refers to student’s confidence in their ability to carry out such academic task as preparing for exams and writing term papers.” Menurut Zajacova, dkk (2005), academic self-efficacy mengacu pada keyakinan mahasiswa terhadap kemampuan mereka dalam melaksanakan tugas –tugas akademik seperti mempersiapkan diri untuk ujian dan menyusun makalah. 1.2.2 Dimensi Academic Self Efficacy Zajacova, dkk (2005) dalam penelitiannya mengidentifikasikan empat dimensi dari academic self efficacy, yaitu: 1. Interaction at school merupakan keyakinan tentang kemampuan diri untuk berinteraksi dengan orang-orang yang terlibat di perguruan tinggi seperti berbicara dengan professor/dosen, mencari pertolongan dan informasi di kampus, berbicara dengan staf kampus, berpartisipasi dalam diskusi kelas, dan memahami peraturan di kampus 2. Academic performance out of class. Keyakinan mahasiswa dalam menampilkan kemampuan dirinya selama di luar perkuliahan seperti belajar, menjaga/ fokus pada bacaan yang diperlukan, menuliskan makalah, menyelesaikan tugas tepat waktu, persiapan untuk ujian, meningkatkan kemampuan membaca dan menulis, meneliti makalah, dan memahami buku yang dipelajari 3. Academic performance in class. Keyakinan mahasiswa dalam menampilkan kemapuan dirinya ketika mengikuti perkuliahan yaitu mengerjakan ujian dengan baik, mengikuti beberapa ujian pada minggu yang sama, meraih peringkat yang saya inginkan, dan mengikuti kelas yang dianggap berat dengan baik 4. Managing work, family, and school. Keyakinan mahasiswa dalam mengatur pekerjaan, keluarga, dan perkuliahan secara efektif. 1.2.3 Sumber- sumber Academic Self Efficacy Bandura (1997) mengungkapkan bahwa self efficacy pada individu yang dalam penelitian ini adalah mahasiswa dapat bersumber dari : 86 Hubungan antara School Engagement, Academic Self-Efficacy dan Academic Burnout pada Mahasiswa (Fitri Arlinkasari dan Sari Zakiah Akmal) 1. Mastery experience merupakan sumber informasi efikasi yang paling berpengaruh karena mampu memberikan bukti yang paling nyata tentang kemampuan seseorang dalam mencapai keberhasilan. Keberhasilan akan membangun kepercayaan yang kuat akan keberhasilannya. Ketika seseorang dengan mudah memperolah keberhasilan maka mereka akan mengharapkan hasil yang cepat dan mudah mengalami putus asa akibat kegagalan. 2. Vicarious experience diperoleh melalui model sosial. Self efficacy akan meningkat ketika mengamati keberhasilan orang lain, sebaliknya self efficacy akan menurun jika mengamati orang (yang dijadikan role model) yang kemampuannya kira-kira sama dengan kemampuan dirinya ternyata gagal. 3. Verbal persuasion, persuasi sosial dapat menjani sarana untuk memperkuat keyakinan diri individu. Orang yang dipersuasi secara verbal bahwa mereka memiliki kemampuan untuk menguasai tugas yang diberikan cenderung mengerahkan upaya yang lebih besar dan mempertahankannya ketika kesulitan muncul dibanding dengan orang yang merasa ragu dan merasa dirinya memiliki kekurangan. Dampak dari sumber ini terbatas, namun pada kondisi yang tepat persuasi dari orang lain dapat mempengaruhi self efficacy. Kondisi itu adalah rasa percaya kepada pemberi persuasi, dan sifat realistik dari apa yang dipersuasikan. 4. Physiological and affective states, keadaan fisik dan emosi yang mengikuti suatu kegiatan akan berpengaruh pada self efficacy orang tersebut di bidang kegiatan yang diikuti. Emosi seperti takut, cemas, dan stres dapat mengurangi self efficacy seseorang. Namun ketika peningkatan emosi tersebut dalam batas yang tidak berlebihan dapat meningkatkan self efficacy. 1.2.4 Pengukuran Academic Self Efficacy Alat ukur academic self efficacy yang digunakan pada penelitian ini adalah Academic Self-Efficacy Scale yang disusun oleh Zajacova, dkk (2005). Alat ukur ini terdiri dari empat dimensi yang diperoleh dari dua alat ukur berbeda yaitu Academic Milestones Scale (Lent dkk., 1986) dan College Self-Efficacy Inventory (Solberg dkk., 1993). Alat ukur ini menggunakan skala rating dari 0 (tidak yakin sama sekali) hingga 10 (sangat yakin). Zajacova dkk (2005) mendapatkan nilai cronbach’s alpha = 0.87 (interaction at school), 0.90 (performance out of class), 0.87 (performance in class) dan 0.77 (managing work, family, and school). 87 Humanitas Volume 1 Nomor 2 Agustus 2017 1.3 Academic Burnout 1.3.1 Definisi Academic Burnout Schaufeli, dkk (2002) mendefinisikan academic burnout sebagai: “Burnout among students refers to feeling exhausted because of study demands, having a cynical and detached attitude toward ones study, and feeling incompetent as a student” Schaufeli, dkk (2002) menyatakan bahwa academic burnout mengacu pada perasaan lelah karena tuntutan studi, memiliki sikap sinis terhadap tugas-tugas perkuliahan, dan perasaan tidak kompeten sebagai mahasiswa. 1.3.2 Dimensi Academic Burnout Schaufeli, dkk (2002) menyatakan bahwa terdapat tiga dimensi academic burnout, yaitu: 1. Exhaustion. Aitem-aitem pada dimensi ini mengacu pada perasaan lelah tetapi tidak merujuk langsung kepada orang lain sebagai sumber umum. Leiter & Maslach (2000) menyatakan bahwa dimensi ini mengarah pada perasaan emosional yang berlebihan dan perasaan terkurasnya sumber daya emosional. Individu merasa kekurangan energi untuk menghadapi hari lain atau orang lain. 2. Cynisim. Dimensi ini ditandai dengan ketidakpedulian atau sikap menjauh terhadap perkuliahan yang dijalani, tidak harus dengan orang lain. 3. Reduce of Professional Efficacy. Dimensi ini meliputi aspek sosial dan nonsosial dalam pencapaian akademik. Leiter & Maslach (2000) menyatakan bahwa individu akan merasa tidak berdaya, merasa semua tugas yang diberikan berat. Ketika merasa tidak efektif maka mereka cenderung mengembangkan rasa tidak mampu. 1.3.3 Pengukuran Academic Burnout Alat ukur academic burnout yang digunakan pada penelitian ini adalah Maslach Burnout Inventory- Student Survey (MBI-SS). Alat ukur ini merupakan adaptasi dari Maslach Burnout Inventory- General Survey (MBI-SS)( Schaufeli, Leiter, Maslach, & Jackson, 1996) yang disusun oleh Schaufeli, dkk (2002). Alat ukur ini menggunakan skala rating dari 0 88 Hubungan antara School Engagement, Academic Self-Efficacy dan Academic Burnout pada Mahasiswa (Fitri Arlinkasari dan Sari Zakiah Akmal) (tidak pernah) sampai 6 (selalu). Nilai cronbach’s alpha MBI-SS untuk penelitian saat ini adalah 0,80 (Soliemanifar, dkk, 2013). II. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan pendekatan korelasional, yaitu dengan mengukur hubungan antar ketiga variable dalam penelitian ini. Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian asosiatif dan jenis penelitian pada penelitian ini adalah non-eksperimental. Pada penelitian ini, Peneliti ingin melihat hubungan antara academic self efficacy dan academic burnout. Sugiyono (2010) menyatakan bahwa penelitian asosiatif merupakan penelitian yang mencari hubungan antara satu variabel dengan variabel lain. Hipotesis dalam penelitian ini adalah hipotesis asosiatif, dimana hipotesis ini merupakan jawaban sementara atas rumusan masalah asosiatif. Tujuan dari hipotesis asosiatif adalah untuk mengetahui hubungan antara dua variabel atau lebih. Pengujian hipotesis asosiatif dengan menggunakan analisa statistik korelasi Pearson Product Moment untuk data yang berdistribusi normal dan korelasi Spearman untuk data yang tidak berdistribusi normal. Sampel penelitian ini adalah mahasiswa yang sedang menjalani studinya di perguruan tinggi di wilayah DKI Jakarta. Adapun karakteristik sampel penelitian ini yaitu mahasiswa yang secara aktif terdaftar pada perguruan tinggi dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan yang berusia 18-30 tahun. Selain itu mahasiswa juga memilih angka 3 hingga 5 pada skala stres yang diberikan. Roscoe (dalam sugiyono, 2010) menyatakan ukuran sampel yang layak dalam penelitian adalah antara 30 sampai dengan 500. Pada populasi yang sangat besar, disarankan jumlah sampel minimum adalah 100 orang (Alreck & Settle, 2004). Berdasarkan hal tersebut peneliti menetapkan jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 200 mahasiswa. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah nonprobability sampling dan metode penentuan sampel yang digunakan adalah sampling insidental. Sampling insidental (Sugiyono, 2010) adalah teknik penentuan sampel berdasarkan kebetulan, yaitu siapa saja yang secara kebetulan atau insidental bertemu dengan peneliti dapat digunakan sebagai sampel, bila dipandang orang yang kebetulan ditemui itu cocok sebagai sumber data. Peneliti memberikan kuesioner penelitian pada subjek yang sesuai dengan karakteristik sampel yang telah ditentukan. 89 Humanitas Volume 1 Nomor 2 Agustus 2017 Data yang diperoleh merupakan data kuantitatif yang menggambarkan tingkat academic self-efficacy, tingkat school engagement, dan kencenderungan mengalami academic burnout berdasarkan hasil pengumpulan data. 2.1 Alat Ukur Academic Self Efficacy Alat ukur academic self efficacy yang digunakan pada penelitian ini adalah Academic Self-Efficacy Scale yang disusun oleh Zajacova, dkk (2005). Alat ukur ini terdiri dari 23 item pernyataan. Peneliti mengadaptasi alat ukur Academic Self-Efficacy Scale ke dalam bahasa Indonesia untuk mengukur kemampuan academic self efficacy mahasiswa berdasarkan empat dimensi. Aitem dalam alat ukur ini terdiri dari aitem-aitem yang favorabel dan skornya diperoleh menggunakan skala rating dari 0 (tidak yakin sama sekali) hingga 10 (sangat yakin). Peneliti menggunakan perhitungan pada SPSS versi 16.0 untuk mengetahui validitas dan reliabilitasnya. Tingginya tingkat academic self efficacy subjek diperoleh dari total skor skala Academic Self Efficacy Scale. Semakin tinggi total skor pada Academic Self Efficacy Scale maka semakin tinggi pula tingkat academic self efficacy dan begitu pula sebaliknya. Semakin rendah skor subjek maka semakin rendah pula kemampuan academic self efficacy yang dimilikinya. Total skor subjek diperoleh dari hasil penjumlahan skor pada tiap aitem yang ada pada alat ukur. 2.2 Alat Ukur School-Engagement Alat Ukur School-Engagement dalam penelitian ini berasal dari school-engagement scale yang dikembangkan oleh Fredericks, Blumenfeld, Friedel, & Paris (2005) dan terdiri dari 15 item pertanyaan. Peneliti mengadaptasi alat ukur ini ke dalam bahasa Indonesia untuk mengukur tiga dimensi dalam school-engagement yakni kognitif, afektif, behavioral. Skala ini menggunakan skala frekuensi dari 0 (tidak pernah) sampai 6 (selalu). 0 = tidak pernah, 1 = hampir tidak pernah, 2 = jarang, 3 = kadang-kadang, 4 = sering, dan 5 = selalu. 2.3 Alat Ukur Academic Burnout Alat ukur academic burnout yang digunakan pada penelitian ini adalah Maslach Burnout Inventory- Student survey (MBI-SS). Alat ukur ini disusun oleh Schaufeli, dkk (2002). Peneliti mengadaptasi alat ukur Maslach Burnout Inventory- Student survey (MBI-SS) ke dalam bahasa Indonesia untuk mengukur kecederungan academic burnout mahasiswa 90 Hubungan antara School Engagement, Academic Self-Efficacy dan Academic Burnout pada Mahasiswa (Fitri Arlinkasari dan Sari Zakiah Akmal) berdasarkan tiga dimensi. Jumlah aitem pada skala ini adalah 15 aitem dalam bentuk pernyataan. Skala ini menggunakan skala frekuensi dari 0 (tidak pernah) sampai 6 (selalu). 0 = tidak pernah, 1 = hampir tidak pernah, 2 = jarang, 3 = kadang-kadang, 4 = sering, 5 = sering sekali, dan 6 = selalu. Aitem dalam alat ukur ini terdiri dari 9 aitem favorabel dan 6 aitem unfavorabel. III. Hasil dan Pembahasan 3.1 Deskripsi Subjek Penelitian Jumlah partisipan yang mengikuti penelitian ini adalah sebanyak 208 orang dengan rincian data demografis sebagai berikut: Tabel I. Data Demografi Variabel Jumlah Persentase 18-21 tahun 156 75 % 22-25 tahun 50 25 % 26-30 tahun 2 1% Laki-laki 25 12 % Perempuan 183 88 % Semester 1-2 77 37 % Semester 3-4 32 15,4 % Semester 5-6 36 17,3 % Semester 7-seterusnya 63 30,3 % X < 2,76 28 13,4 % 2,76 ≤ X < 3,48 147 70,7 % 3,48 ≤ X 33 15,9 % USIA JENIS KELAMIN SEMESTER IPK Sebagian besar partisipan penelitian ini adalah mahasiswa yang berusia 18-21 tahun dengan persentase sebesar 75 % yaitu sebanyak 156 orang. Partisipan perempuan lebih banyak (183 orang) daripada laki-laki (25 orang). Jika ditinjau berdasarkan kegiatan di luar perkuliahan, partisipan yang mengikuti kegiatan di luar perkuliahan seperti organisasi, bekerja part time, bisnis, dan lainnya (51.93%) lebih banyak dari partisipan yang tidak 91 Humanitas Volume 1 Nomor 2 Agustus 2017 mengikuti kegiatan di luar perkuliahan (48.07%). Jika ditinjau dari semester yang dijalani, partisipan yang paling banyak adalah mahasiswa yang berada pada semester 1 dan 2 dengan persentase sebesar 37 %. Berikut merupakan gambaran demografi partisipan dalam penelitian ini: 3.2 Deskripsi Kategori Penelitian Tabel II. Tabel Kategori Skor Tiap Variabel Variablel Rentang Jumlah Rentang Nilai Nilai Tinggi Rendah Jumlah School Engagement >144 113 ≤144 95 Academic burnout >28 98 ≤28 10 Academic-efficacy >52 100 ≤52 108 Berdasarkan tabel di atas dapat disimpulkan bahwa sebagian besar responden memiliki School engagement yang tinggi, academic burnout yang tinggi, dan academicefficacy yang tinggi. Tabel III. Deskripsi Subjek Berdasarkan Sumber Academic Self Efficacy Sumber-sumber Academic Self Efficacy Total Mastery experience 83 orang Vicarious experience 70 orang Verbal persuation 80 orang Physiological & affective states 78 orang Lainnya 6 orang Berdasarkan tabel iii dapat dilihat bahwa sumber academic self efficacy yang paling dominan pada sampel penelitian adalah mastery experience yaitu sebanyak 83 orang. Tabel IV. Deskripsi Subjek Berdasarkan Faktor yang Mempengaruhi Kemunculan Academic Burnout 92 Hubungan antara School Engagement, Academic Self-Efficacy dan Academic Burnout pada Mahasiswa (Fitri Arlinkasari dan Sari Zakiah Akmal) Faktor- Faktor Academic Burnout Total Workload 149 orang Control 45 orang Reward 15 orang Community 18 orang Fairness 17 orang Values 19 orang Lainnya 16 orang Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa faktor penyebab academic burnout yang dominan pada sampel penelitian adalah workload yaitu sebanyak 149 orang. 3.3 Uji Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur Tabel V. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur Skala Cronbach’s Alpha N of Items School Engagement 0.889 14 Academic Burnout 0.913 13 Academic Efficacy 0.944 22 Berdasarkan tabel di atas, dapat disimpulkan bahwa ketiga alat ukur memiliki reliabilitas yang baik dengan nilai alpha Cronbach >0,7. 3.4 Uji Normalitas Tabel VI. Tabel Normalitas Data Variablel K-SZ School Engagement 0,038 Academic burnout 0,061 Academic-efficacy 0,091 Dari hasil uji normalitas diperoleh bahwa nilai K-SZ academic-efficacy dan academic burnout di atas 0.05, maka dapat dikatakan bahwa sebaran data pada kedua alat ukur berdistribusi normal. Sementara sebaran data school-engagement terbilang tidak normal, ditandai oleh nilai K-SZ yang berada di bawah 0.05. Dengan demikian uji korelasi Schoolengagement dengan dua variabel lainnya harus menggunakan teknik korelasi Spearman. 93 Humanitas Volume 1 Nomor 2 Agustus 2017 Sedangkan uji korelasi antara Academic Burnout dan Academic Efficacy dapat dilakukan dengan teknik korelasi Pearson. 3.5 Uji Korelasi Tabel VII. Tabel Korelasi Antar Variabel Academic Self-Efficacy Academic Self- Academic Burnout -,365 - Efficacy -,365** Academic Burnout School Engagement ** ,495** (Pearson Correlation; p<0.00) (Spearman Correlation; p<0.00) - -,366** (Pearson Correlation; p<0.00) (Spearman Correlation; p<0.00) ,495** -,366** (Spearman Correlation; p<0.00) (Spearman Correlation; p<0.00) School Engagement - Dari tabel di atas, dapat disimpulkan bahwa ketiga variabel saling berhubungan secara signifikan. Academic Efficacy berhubungan secara signifikan dengan Academic Burnout (r=0.365; p=<0.00). Dengan demikian, semakin tinggi skor academic efficacy responden, semakin rendah academic burnout yang dialaminya. Academic efficacy juga signifikan berhubungan dengan school engagement secara positif (r=0.495; p<0.00). Artinya, ketika responden merasa yakin dengan kemampuan akademiknya, maka keterikatannya pada perkuliahan juga meningkat. School engagement juga menentukan academic burnout secara signifikan (r=-0,366; p<0.00). Dengan demikian, ketika responden merasa terikat dengan perkuliahannya secara positif, maka keterikatan tersebut membantu menurunkan kejenuhan akademik yang dia rasakan. 3.6 Uji Beda Tabel VIII. Keterkaitan faktor demografi dengan school engagement dan academic burnout Faktor School Engagement Academic Burnout Academic Efficacy Demografi U/T Sig U/T Sig. U/T Sig. Jenis 0,56 0,812 1,797 0,074 2041 0.382 Kelamin Semester 1,798 0,184 0,416 0,746 11.213 0.011 IPK 0,249 0,618 2,906 0,057 13,432 0.001 Berdasarkan tabel di atas, dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan skor/nilai school engagement dan academic burnout yang signifikan berdasarkan jenis kelamin, 94 Hubungan antara School Engagement, Academic Self-Efficacy dan Academic Burnout pada Mahasiswa (Fitri Arlinkasari dan Sari Zakiah Akmal) semester, dan IPK subjek. Meski demikian, terdapat perbedaan academic efficacy berdasarkan semester dan IPK responden. Responden dengan mean skor academic self efficacy tertinggi berada semester 7 ke atas dan terendah adalah mahasiswa yang berada pada semester 3 dan 4. Untuk uji beda academic self efficacy dan IPK diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,001 (p≤ 0,05), hal ini menandakan bahwa terdapat perbedaan signifikan antara academic self efficacy pada mahasiswa yang berada pada kategori IPK rendah, sedang, dan tinggi. Responden dengan mean skor academic self efficacy tertinggi ditemukan pada mahasiswa dengan kategori IPK tinggi dan terendah ditemukan pada mahasiswa dengan kategori IPK rendah. Berdasarkan hasil uji analisis data didapatkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara semua dimensi school engagement dan academic burnout pada mahasiswa. Hubungan tersebut tergambar pada uji korelasi yang menghasilkan nilai korelasi sebesar 0,366 dengan nilai signifikansi 0,000. Artinya, school engagement dapat memprediksi atau mengukur tingkat academic burnout sebesar 36% pada mahasiswa di Jakarta. Selanjutnya, berdasarkan hasil uji analisis data didapatkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara academic self efficacy dan academic burnout pada mahasiswa. Hubungan tersebut tergambar pada uji korelasi yang menghasilkan nilai signifikansi 0,000. Hal ini menunjukkan bahwa academic self efficacy dapat dijadikan prediktor untuk memprediksi atau mengukur tingkat academic burnout pada mahasiswa di Jakarta. Koefisien korelasi academic self efficacy dan academic burnout sebesar -0,365. Hasil penelitian menunjukkan korelasi negatif. Artinya, apabila academic self efficacy pada mahasiswa rendah maka kecenderungan untuk mengalami academic burnout tinggi dan sebaliknya apabila academic self efficacy tinggi maka kecenderungan untuk mengalami academic burnout rendah. Academic efficacy juga signifikan berhubungan dengan school engagement secara positif (r=0.495; p<0.00). Artinya, ketika responden merasa yakin dengan kemampuan akademiknya, maka keterikatannya pada perkuliahan juga meningkat. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa academic self efficacy berhubungan secara signifikan dengan academic burnout dan kedua variabel tersebut berkorelasi negatif (Ugwu, dkk., 2013; Charkhabi, dkk., 2013; Rahmati, 2015). Ugwu, dkk (2013) menyarankan agar mahasiswa memiliki self efficacy yang memadai untuk melindungi diri dari potensi academic burnout. Pernyataan senada juga diungkapkan Rahmati (2015) mengatakan bahwa mahasiswa yang tidak memiliki academic self efficacy yang memadai menjadi rentan terhadap academic burnout dan kurang memiliki kemampuan untuk beradaptasi. Mahasiswa dengan academic self 95 Humanitas Volume 1 Nomor 2 Agustus 2017 efficacy yang baik dapat menghasilkan dan mampu menguji berbagai alternatif tindakan ketika mereka tidak mencapai keberhasilan pada awalnya. Mahasiswa dengan tingkat academic self efficacy yang tinggi ketika menghadapi masalah akademik tidak akan mudah menyerah dan mencoba untuk menemukan solusi yang tepat untuk memecahkan masalah mereka (Charkhabi, dkk., 2013). Pada penelitian ini proporsi subjek penelitian pada kategorisasi academic self efficacy lebih banyak pada kategori tinggi sementara untuk academic burnout kebanyakan berada pada kategori sedang. Self efficacy pada mahasiswa akan mempengaruhi mereka dalam menentukan tujuan, reaksi emosional, usaha, penyesuaian diri, dan ketahan sehingga mereka lebih tenang ketika menghadapi kesulitan dalam bidang akademik. Sebaliknya mahasiswa dengan self efficacy yang rendah cenderung menilai masalah lebih sulit daripada yang sebenarnya, lebih rentan terhadap stres, depresi dan memiliki kemampuan pemecahan masalah yang kurang baik. Hal tersebut menunjukkan bahwa self efficacy ikut berperan dalam menurunkan academic burnout pada mahasiswa (Rahmati, 2015). Berdasarkan hasil keterkaitan antara academic self efficacy dengan faktor demografi, perbedaan signifikan hanya terlihat pada kegiatan di luar perkuliahan, nilai IPK, dan semester. Untuk uji beda semester, mahasiswa pada semester 7 dan seterusnya memiliki academic self efficacy yang lebih baik dibandingkan dengan mahasiswa yang berada pada semester 6 ke bawah. Penelitian ini juga menemukan bahwa sumber academic self efficacy yang dominan pada mahasiswa dalam penelitian ini adalah mastery experience. Peneliti berasumsi bahwa banyaknya pengalaman-pengalaman akademik yang diperoleh selama perkuliahan membuat mahasiswa mampu meningkatkan academic self efficacy yang mereka miliki. Bandura (1997) mengemukakan bahwa mastery experience merupakan sumber informasi efikasi yang paling berpengaruh karena mampu memberikan bukti yang paling nyata tentang kemampuan seseorang dalam mencapai keberhasilan. Pada penelitian ini tidak terlihat perbedaan academic burnout yang signifikan berdasarkan usia dan semester. Hasil penelitian ini tidak sejalan pernyataan Maslach, dkk (2001) yang mengemukakan bahwa usia merupakan salah satu karakteristik yang paling berhubungan dengan burnout. Individu dengan usia yang lebih muda memiliki burnout yang lebih tinggi. Maslach, dkk (2001) juga menyatakan bahwa individu dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi juga lebih rentan terhadap burnout. Pada penelitian ini juga tidak terdapat perbedaan academic burnout yang signifikan berdasarkan jenis kelamin. Hasil penelitian ini sejalan dengan pernyataan Maslach, dkk (2001) yang mengungkapkan bahwa jenis kelamin tidak dapat menjadi prediktor yang kuat 96 Hubungan antara School Engagement, Academic Self-Efficacy dan Academic Burnout pada Mahasiswa (Fitri Arlinkasari dan Sari Zakiah Akmal) dalam memunculkan burnout. Meskipun demikian hasil yang berbeda diungkapkan oleh Aro, Kiuru, Pietikainen, dan Jokela (2008) yang menyatakan bahwa perempuan lebih rentan terhadap academic burnout dibandingkan dengan laki-laki. Berdasarkan kategori IPK, tidak ditemukan perbedaan signifikan antara academic burnout dengan IPK. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Nikodijevic, Labrovic, dan Dokovic (2012) yang menemukan bahwa terdapat pengaruh signifikan antara IPK dan risiko mengalami academic burnout, 54,4 % dari mahasiswa dengan IPK rendah berisiko mengalami academic burnout dan 26,6% berada pada risiko tinggi mengalami academic burnout. Selain melakukan uji beda dengan faktor demografi, peneliti juga mencoba melihat faktor penyebab academic burnout yang paling dominan dirasakan mahasiswa, dan ditemukan hasil bahwa secara kuantitas workload merupakan faktor penyebab academic burnout yang paling dominan dirasakan oleh mahasiswa dalam penelitian ini. Workload terjadi karena tugas-tugas akademik yang diberikan melebihi kapasitas kemampuan mahasiswa itu sendiri. Hal ini dapat menyebabkan menurunnya kualitas belajar, hubungan yang tidak sehat di lingkungan akademik, menurunnya kreativitas mahasiswa, dan pada akhirnya menyebabkan academic burnout (Leiter & Maslach, 2000). Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa school engagement berhubungan secara signifikan dengan academic burnout dan kedua variabel tersebut berkorelasi negatif (Salmelo-Aro & Kuntu, 2010; Ugwu, dkk, 2013). Artinya, perasaan lelah karena tuntutan studi yang bisa berdampak pada dropout dapat diatasi dengan meningkatkan perasaan, sikap dan perilaku positif terhadap kegiatan studi. Temuan lain yang menarik dari penelitian ini adalah tidak adanya perbedaan school engagement dan academic burnout berdasarkan karakteristik sampel. Berdasarkan jenis kelamin, sampel perempuan dan laki-laki memiliki tingkat school engagement dan academic burnout yang cenderung sama. Sementara pada penelitian Salmela-Aro & Kuntu (2010), ditemukan bahwa mahasiswa perempuan cenderung memiliki tingkat kelelahan yang lebih tinggi dibandingkan mahasiswa laki-laki. Tidak hanya itu, mahasiswa perempuan juga cenderung menilai negatif kompetensi akademik mereka disbanding mahasiswa laki-laki. Meski demikian, perasaan inkompeten pada mahasiswa perempuan justru membuat mereka menampilkan usaha ekstra dalam penyesuaian tuntutan akademik. Hal ini membuat mahasiswa perempuan cenderung memiliki prestasi akademik yang lebih baik dibandingkan mahasiswa laki-laki. Upaya penyesuaian tersebut membuat mahasiswa perempuan juga lebih 97 Humanitas Volume 1 Nomor 2 Agustus 2017 merasa terikat dengan kegiatan akademiknya, atau dengan kata lain memiliki tingkat school engagement yang lebih tinggi dibandingkan mahasiwa laki-laki. Penelitian ini juga tidak menemukan perbedaan tingkat academic burnout dan school engagement pada sampel berdasarkan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK). Artinya, mahasiswa dengan prestasi yang lebih tinggi tidak berarti memiliki school engagement yang lebih baik dibandingkan mereka dengan IPK yang lebih rendah. Begitu halnya dengan academic burnout, dimana mahasiswa dengan prestasi yang lebih rendah tidak selalu menunjukkan academic burnut yang lebih tinggi dibandingkan mahasiswa dengan prestasi yang lebih baik. Temuan ini juga berbeda dari hasil penelitian Salmela-Aro & Upadyaya (2013) yang menyatakan bahwa mahasiswa dengan school engagement yang lebih baik akan menunjukkan prestasi yang lebih tinggi. IV. Simpulan dan Saran Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara school engagement dan academic burnout pada mahasiswa. School engagement korelasi negatif dengan academic burnout, artinya semakin positif sikap, perilaku, dan kognitif mahasiswa terhadap tuntutan akademik, maka akan semakin rendah kemungkinan mereka mengalami academic burnout, dan begitu pula sebaliknya. Penelitian ini juga mengungkap hubungan yang signifikan antara academic self efficacy dan academic burnout pada mahasiswa. Academic self efficacy berkorelasi negatif dengan academic burnout, artinya semakin besar academic self efficacy pada mahasiswa maka semakin kecil kecenderungan mereka mengalami academic burnout, dan begitu pula sebaliknya. Bagi penelitian selanjutnya, peneliti menyarankan untuk menambahkan variabel lain yang berhubungan dengan academic self efficacy, school engagement maupun academic burnout untuk lebih menggambarkan kondisi academic self efficacy maupun academic burnout pada mahasiswa, seperti perilaku belajar, stres akademik, dukungan sosial, dan sebagainya. Penelitian selanjutnya juga diharapkan dapat mengkaji lebih lanjut mengenai faktor-faktor penyebab academic burnout yang paling berpotensi menimbulkan academic burnout pada mahasiswa berdasarkan kualitas maupun kuantitas untuk memberikan informasi yang berguna bagi mahasiswa untuk melindungi diri dari academic burnout. Selain itu penelitian selanjutnya juga dapat memperbanyak jumlah sampel penelitian dan menambahkan faktor-faktor demografi lainnya yang lebih berkaitan dengan academic self 98 Hubungan antara School Engagement, Academic Self-Efficacy dan Academic Burnout pada Mahasiswa (Fitri Arlinkasari dan Sari Zakiah Akmal) efficacy maupun academic burnout misalnya waktu yang dihabiskan untuk belajar dalam sehari, perguruan tinggi yang dimasuki, dan sebagainya. Bagi institusi pendidikan dapat memberikan pelatihan mengembangkan academic self efficacy dan school-engagement pada mahasiswa untuk melindungi mahasiswa dari potensi mengalami academic burnout selama menjalani perkuliahan. Sementara bagi dosen mata kuliah ataupun pembimbing akademik dapat memberikan dukungan dan motivasi secara verbal serta informasi terkait potensi akademik yang dimiliki oleh mahasiswa sehingga mereka mampu meningkatkan academic self efficacy dan school engagement yang dimiliki dan terhindar dari potensi mengalami academic burnout. Bagi Mahasiswa disarankan untuk mengindari workload yang menjadi sumber academic burnout paling banyak dirasakan oleh mahasiswa maka mahasiswa dapat membuat jadwal belajar untuk menyesuaikan waktu belajar, pengerjaan tugas-tugas kuliah, dan aktivitas sehari-hari. Mahasiswa juga dapat mengerjakan tugas secara berkelompok agar tugas perkuliahan yang dinilai sulit dapat diselesaikan bersama-sama sehingga beban tugas terasa lebih ringan. Selain itu mahasiswa juga dapat mengikuti kegiatan yang menyenangkan seperti berorganisasi, bisnis, dan lainlain untuk mereduksi stres selama perkuliahan. V. Daftar Pustaka Alfian, M. (2014). Regulasi Emosi Pada Mahasiswa Suku Jawa, Suku Banjar, Dan Suku Bima. Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan (JIPT) Volume 2, No. 2. Alreck, P. L., & Settle, R. B. (2004). The Survey Research Handbook. Boston: McGrawHill/Irwin Aro, K. S., Noona K, Minna P, & Jukka J. (2008). Does School Matter? : The Role of School Context in Adolescents’ School-Related Burnout. Jurnal European Psychologist 2008; Volume 13, No. 1. Bilge, F., Cetin, B., Dost, M. T. (2014). Factors Affecting Burnout and School Engagement among High School Students: Study Habits, Self-Efficacy Beliefs, and Academic Success. Educational Sciences: Theory & Practice, 1722-2727. Bilge, F., Tuzgol Dost, M., Cetin, B. (2014). Factors affecting burnout and school engagement among high school students: study habits, selfefficacy beliefs, and academic success. Educational Science: Theory and Practice Volume 14 no. 5. Bandura, A. (1997). Self Efficacy: The Exercise of Control. New York: Freeman. 99 Humanitas Volume 1 Nomor 2 Agustus 2017 Chai, dkk. (2012). Stress and quality of life in international and domestic universitystudents: cultural differences in the use of religious coping. Jurnal Mental Health, Religion & CultureVolume 15, No. 3. Chemers, M. M., Hu, L.T., & Garcia, B. F. (2001). Academic self-efficacy and first-year college student performance and adjustment. Journal of Educational Psychology Volume 93, No. 1. Finn, J.D. & Voelkl, K.E. (1993). School Characteristics related to student engagement. Journal of Negro Education Volume 62. Fredricks, J. A. (2011). Engagement in School and Out-of-School Contexts: A Multidimensional View of Engagement. Theory into Practice, 327-335. Jennifer A. Fredricks, P. B. (2003). School Engagement. The Indicators of Positive Development Conference. Child Trends. Jimerson, S.R., Campos, E., Greif, J.L. (2003). Toward an understanding of definitions and measures of school engagement and related terms. The California School of Psychologist Volume 8. Lippman, L., R. A. (2008, May 5). Brief Research-to-Results. Retrieved from Child Trends: www.childtrends.org Law, D W. (2007). Exhaustion in University Students And The Effect Of Coursework Involvement. Journal of American College Health, Vol. 555, No. 4. Leiter, M. P., & Maslach, C. (2000). Burnout and Health. In A. Baum, T. Revenson, & J. Singer (Eds.) Handbook of Health Psychology. Hillsdale, NJ: Lawrence Earlbaum Maslach, C., Schaufeli, W. B., & Leiter, M. P. (2001). Job Burnout. Annual Reviews of Psychology, 52 : 397-422. Mayasari, M D, Dewi M, & Weni E W. (2010) Hubungan antara Persepsi Mahasiswa terhadap Metode Pengajaran Dosen dengan Kecenderungan Prokrastinasi Akademik pada Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Hang Tuah Surabaya. Jurnal INSAN Media Psikologi Volume 12 No. 02. Prabowo, Arif Nur. (2007). Hubungan sosial mahasiswa rantau dengan masyarakat kampong semanggi II Ciputat-Tangerang. [Skripsi] Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah. Jakarta. 100 Hubungan antara School Engagement, Academic Self-Efficacy dan Academic Burnout pada Mahasiswa (Fitri Arlinkasari dan Sari Zakiah Akmal) Rachmah, D. N. (2013). Hubungan Self Efficacy, Coping Stress Dan Prestasi Akademik. Jurnal Ecopsy Volume 1, No. 1. Ratnaningsih, D. J., Asep S., & Hari W. (2008). Analisis Daya Tahan Mahasiswa Putus Kuliah Pada Pendidikan Tinggi Jarak Jauh (Studi Kasus: Mahasiswa Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Terbuka). Jurnal Pendidikan Terbuka dan Jarak Jauh, Volume 9, No. 2. Salmela-Aro, K., Kiuru, N., Pietikäinen, M., & Jokela, J. (2008). Does School Matter? The Role of School Context in Adolescents’ School-Related Burnout. Jurnal European Psychologist 2008; Volume 13, No. 1. Salmela-Aro, K., Kuntu, K. (2010). Study Burnout and Engagement in Higher Education. Unterrichtswissenschaft, 318-333. Salmela-Aro, K., Upadyaya, K. (2013). School burnout and engagement in the context of demands-resources model. British Journal of Educational Psychology, 137-151. Schaufeli, W. B. (2002). Burnout And Engagement In University Students : A Cross-National Study. Journal Of Cross-Cultural Psychology, Volume 33 No. 5. Sugiyono. (2010). Statistika Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta. Soliemanifar, O., Farzaneh S. & Zekrollah M. (2013). The Relationship Between of Academic Achievement Motivation and Academic Burnout in Postgraduate Students of Shahid Chamran University of Ahvaz. Journal of Life Science and Biomedicine Volume 3, No. 3. Ugwu, F. O., Ike E. O. & Winifred A. T. (2013). Exploring The Relationships Between Academic Burnout, Selfefficacy And Academic Engagement Among Nigerian College Students. Online Journal Of The African Educational Research Network Volume 13, No. 2 Victoriana, Evany. (2012). Studi Kasus Mengenai Self-Efficacy Untuk Menguasai Mata Kuliah Psikodiagnostika Umum Pada Mahasiswa Magister Profesi Psikologi Di Universitas “X”. Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha. Bandung. Virtanen, T.U., Kiuru, N., Lerkkanen, M., Poikkeus, A., Kuorelahti, M. (2016). Assessment of student engagement among junior high school students and associations with selfesteem, burnout, and academic achievement. Journal of Educational Research Online, 136-157. 101 Humanitas Volume 1 Nomor 2 Agustus 2017 Yang, H. J. (2004). Factors affecting student burnout and academic achievement in multiple enrollment programs in Taiwan’s technical–vocational colleges. International Journal of Educational Development 24. Zajacova, A., Scott M. L. & Thomas J. E. (2005) Self-Efficacy, Stress, And Academic Success In College. Research In Higher Education, Volume 46, No. 6. 102